Selasa, 08 Februari 2011

AMANAH

Amanah ! Ini Amanah !
1
Lelaki yang dikenal dengan sifat ‘amanahnya’ itu mulai berfikir akan memotong segenggam atau dua genggam rumput liar yang kemudian akan direbus dan dimakan. Sebenarnya tadi ia sudah memancing di saat sore tapi jangankan ikan di dapat, cacing di air pun terasa tak tersentuh sama sekali, hanya seperti dimandikan di kali. Sial memang sedang merundung lelaki malang ini, lapar sudah melilit. Bagai sebuah kesengajaan kehidupan, perut yang keroncongan itu entah dihibur atau malah dicaci oleh alunan musik ‘keroncong’ yang berbunyi di salah satu rumah warga desa Mutian. Desa itu gelap sekarang. Bagaimana tidak, selimut hitam menutup langit-langit yang mungkin merasakan dinginnya angin. Lelaki itu tinggal seorang diri karena istrinya mati lantaran kelaparan juga karena sifat amanah lelaki itu. Pernah suatu kali saat istrinya kelaparan total…tal…tal….Ia berpesan pada suaminya yang kebetulan saat itu menggilingkan padi pak RT untuk mengambil beberapa agar bisa dimasak, tapi sungguh dengan tanpa rasa bersalah dia bilang pada istrinya “Maaf sayang, tadi pak RT hanya menyuruh saya menggilingkan dan tidak menyuruh saya melakukan selain itu. Makanya saya tak melakukan perintahmu”.
Besoknya sang istri meninggal dan dengan tabah dia sendiri yang memandikan, menshalati, menguburkan dan lain sebagainya karena sebelum mati sang istri meninggalkan pesan “Diriku akan mati karena lapar yang begitu melilit, harusnya kau bisa melupakan sedikit tentang amanahmu itu, lihatlah para pejabat yang tak pernah amanah itu, mereka perutnya buncit saking makmurnya. Waktuku telah tiba, jika nanti aku telah benar mati, urus sendiri mayatku jangan kau buat repot orang lain. Ingat! Ini AMANAH dari Istrimu Aminah”.
Itulah cerita singkat masa lalu tentang keluarganya.
2
“Sial! untung aku ingat pesan Bapak untuk menjaga amanah, kalau tidak tak sudi aku memakan rumput. Emang kambingnya Partono apa, makan rumput!” gerutu lelaki yang mulai tua itu. tubuhnya dekil, kurus, selalu melilitkan sarung putih di lehernya. “Ini sarung pemberian Bapak, jadi harus di jaga!” katanya selalu dengan bangga saat ditanya orang perihal sarungnya. Lelaki itu sudah bersiap dengan celuritnya. Sebenarnya ia bisa memasak kangkung dengan mudah karena ia tinggal di gubuk pinggir sawah sebagai penjaga sawah milik pak Barjo yang ditanami kangkung. Hanya saja pak Barjo waktu itu bilang padanya “Jagalah ladangku ini hingga panen tiba, dan aku akan membagi sebagian kangkungku padamu” sehingga lelaki itu kembali terbelenggu dengan yang namanya Amanah. Kangkung itu belum siap panen walau tampaknya menggiurkan, tapi ini amanah! Maka dia memilih tak bermain-main. Dia juga sebenarnya bisa saja mengambil sedikit dan pasti takkan ketahuan, tapi Bapaknya pernah berkata.
 “Tidak Beriman Orang yang Tidak amanah, kamu beriman gak Pret?”
“Saya beriman to pak, percaya sama gusti Allah!” kata Kupret waktu masih kecil dulu.
“Kalau begitu jangan sampai tidak amanah, karena selalu diawasi Gusti Allah”
“Nggeh pak!”
Begitulah Kupret. Dulu dia selalu belajar sama ayahnya, sehingga tau tentang amanah. Hanya saja waktu ayahnya meninggal, ayahnya tak bilang apa-apa (meningalkan amanah) pada Kupret yang kala itu taunya baru tentang arti amanah, sehingga Kupret tak pernah mau belajar apa-apa lagi dan ‘agak gemblong’ , hanya mengandalkan sifat amanahnya. Coba waktu itu bapaknya meningalkan amanah “Belajar yang rajin Pret. Ini AMANAH! Biar nanti jadi Presiden. Kan Bapak bangga di depan Malaikat …Bapak akan bilang ‘Itu lho anak saya, si Kupret Hebat kan’!”. Jika waktu itu Bapaknya benar-benar berpesan seperti itu pasti Kupret akan terus belajar dan belajar hingga jadi Superman.
3
Di bawah temaram cahaya bulan dan jangkrik yang teriak-teriak mungkin karena kelaparan juga, dia keluar dan menutup gubuk reot miring ke kanan sepuluh derajat miliknya menuju galengan sawah. Aroma lumpur basah tercium. Lelaki itu mulai melihat-lihat rumput yang kiranya agak baik untuk dikonsumsi, yang hijau dan segar, serta cukup gemuk tapi semua terlihat sama di mata lelaki itu. Sama-sama rumput yang dimakan kambing Partono pagi dan sore. Tidak ada pilihan lain kecuali dia harus melakukannya. Sudah dilekatkan ke tanah celuritnya itu, tinggal mulai menggesek-gesekan saja ketika ada yang memanggil.
“Hei, Kupret! Ngapain kamu?” lelaki yang menegurnya ini memakai sarung lengkap dengan peci. Rokok dimulutnya, rokok Lindri. Lintingan sendiri.
“Em, anu…anu, lagi anu. Oh, anu-anuin rumput,” jawab Kupret gelagapan. Takut rencananya ketahuan.
“Lho anu-anuin gimana? Edan kamu! Cepat sana, mending ganti baju. Ayo kita wakafan[1] di rumah Bejo!” pemuda desa yang lain menunggu sambil menghisap rokok.Ibu Bejo meninggal dua hari yang lalu lantas telah dikuburkan. Kami berniat wakafan kerumahnya” tambah pemuda itu.
“Waduh, aku tidak bisa ikut Kleng!” kali ini memang tidak ada amanah, sehingga ia bebas membohongi Tongkleng dan rombongan yang lain. Rasa laparnyalah yang membuat ia tak ingin ikut karena lapar juga karena ingin memasak rumput untuk kedua kalinya selama hidup.
“TAPI INI AMANAH DARI KYAI BROTO! KARENA INI WAKAFAN MALAM TERAKHIR” kata pemuda serentak dengan mata sedikit melotot dan wajah yang serius.
Dengan karena mendengar kata amanah serta kata wakafan hari terakhir yang sacral, lelaki itu segera masuk ke gubuk reot miring sedikit ke kanan sepuluh derajat miliknya itu. Berganti pakaian. Dia seketika sadar, kebiasaan wakafan malam terakhir adalah di sana nanti akan diberi makan kemudian saat pulang biasanya diberi bungkusan berisi gula, beras, telur, sarimi, dan kue. Aha…selamat tinggal rumput.
4
Pemuda­­-pemuda Desa Mutian terlambat sedikit. Wakafan di rumah Bejo sudah mau selesai. Mereka segera duduk ditikar yang baru disiapkan. Bejo ikut berkomat-kamit sembari menghisap rokok. Tak apalah mereka datang telat, Anggota Dewan kadang juga telat pas rapat, malah kadang gak hadir. Menunggu dan menunggu, Kupret sudah menanti dengan keringat dingin makanan yang akan diberi nanti. Teh dan “snack sudah diseruput habis saat orang-orang membaca doa. Lelaki ini sebenarnya tidak pernah ikut wakafan kecuali hari terakhir karena di hari terakhir itu dia akan mendapatkan gula dan beras untuk ditabung demi satu tujuan di akhir cerita. Akhirnya terdengar kata ‘Aminnn’ menandakan berakhir sudah. Serentak beberapa orang langsung mengusung nampan membagikan makanan ke orang-orang yang datang termasuk lelaki itu. “Olalala…gado-gado, mantap !” batin Kupret. Tanpa “Allahuma bariklana….” Kupret segera menyerbu makanannya. Dia kunyah sayuran hijau dan tomatnya dengan lahap sambil melupakan rumput tadi. Dua gelas teh habis sudah diseruput. Tak dipedulikan teman-teman yang melihatnya karena tidak ada amanah dari ayahnya tentang aturan saat makan.
Selesai makan, seorang Ustadz yang sedari tadi memimpin wakafan menutup acara ini. Sumringahlah muka lelaki itu, bingkisan yang diidamkan dibagikan penyelenggara wakafan pada orang-orang yang datang. Dia menerima dengan lapang dada penuh suka cita tapi dengan berusaha menunjukan wajah penuh iba karena turut berduka. Bahagia juga dirasa karena mendapatkan bingkisan yang membahagiakan yang begitu menyenangkan sehingga ia bisa menabung, menyiapkan semuanya sampai akhir cerita ini.
5
Sesampainya dirumah, sudah pasti gubuk reot miring ke kanan sedikit sepuluh derajat miliknya masih utuh walau pintu tak ditutup rapat. Tak ada yang bisa dicuri. Dibukalah sebuah peti satu kali satu meter yang ia letakan di bawah tanah yang tertutup sedikit tumpukan jerami, tempat penyimpanan rahasia. “Syukur, tidak dimakan tikus. Tikus desa memang tidak sepandai tikus Ibu kota yang pintar. Hihihi….” Katanya sambil membuka dua toples di dalam peti itu. Ada dua toples yang cukup besar, disitu terisi beras dan gula yang ia kumpulkan selama mengikuti wakafan di hari terakhir. Beras dan gula yang tadi ia dapatkan segera digabung dengan yang lain sesuai toples masing-masing. “Lumayan sudah sekitar sepuluh kg! Cihuii….”
Di antara malam yang kian memalamkan malam yang semakin gelap dan menggelapkan kehidupan dunia malam. Lelaki itu menulis di sebuah kertas usang. “Aku ingin menulis tentang sesuatu” begitu katanya. Dengan pensil bertinggi tiga centimeter miliknya, dia mulai menulis huruf demi huruf yang sungguh hanya bisa di baca sesama orang desa saja. Jangkrik kian sunyi, mungkin mereka juga sudah tenang karena habis wakafan di tempat salah satu jangkrik yang sedang berduka cita. Angin malam masih menari menghibur rembulan yang tersenyum dengan sinarnya. Menyinari gubuk reot miring ke kanan sepuluh derajat.
6
“Kupret, belum bangun kau rupanya!”
“Hei Kupret, masa kau kalah dengan ayam. Hahaha…!”
Begitulah teriakan para petani di sawah sekitar gubuk reot miring kekanan sepuluh derajat milik Kupret. Padahal fajar sudah menyingsing, daun pisang hijau kekuningan dikecup mentari. Burung juga sudah bercicit. Tetapi kenapa lelaki itu belum muncul, harusnya dia sudah di sawah sekitar, sekedar membantu membajak atau mencangkul. Kemanakah ia?
“Tarno, coba kau lihat gubuknya. Kenapa Kupret belum muncul, dia harusya mulai membantu kita mencangkul?” kata Ponirin yang mendongakan kepala kearah gubuk Kupret sembari berhenti mencangkul.
Ya” Tarno mengenakan kembali capingnya. Lantas kakinya diangkat dari lumpur sawah menuju gubuk.
Tarno mendekat ke gubuk reot miring ke kanan sepuluh derajat milik kupret dan memanggil namanya beberapa kali. Karena tidak ada tanggapan, Tarno langsung masuk setelah tahu pintu tidak dikunci. “Oalah…Kupret, jam segini masih tidur!” katanya sesaat setelah melihat Kupret dengan tanpa dosa berbaring di atas dipan dengan tertutup sarung putih andalannya. Beras dan gula sudah di bungkus kecil-kecil dan di taruh di sekelilingnya. Tarno mendekat berniat membangunkan Kupret, tapi kenapa juga di hidung Kupret ada kapas. Dilihatnya tulisan di sampingnya.
“Siapa yang membaca surat ini berarti mendapat amanah dariku. Semalam aku di jemput malaikat yang baik hati, dia membantuku membungkus gula dan beras. Kata malaikat, aku mau dibawa ke gubuk baru yang besar dan tegak seratus derajat ke atas. Makanya tadi malam aku mandi kemudian memotong sarung putih andalanku jadi dua. Hahaha…aku ini orang miskin, tapi kata malaikat Tuhan menyukaiku karena sifat amanahku. Makanya Tuhan ingin segera bertemu. Jadi tolong ya kafani aku. Lantas kuburkan aku di dekat makam istriku Aminah, ingat ini AMANAH. Oh iya, jangan lupa wakafan untuk aku. Cukup sehari saja, karena bungkusan beras dan gulaku hanya sedikit jadi bagikan secukupnya. Ingat, ini amanah. Demikianlah saja. Salamku buat orang desa.
Tarno menelan ludah.“ Ponirinnnnnnnnnnn!!!!!!!!!!!!!!!”
7
Semua urusan usai. Kuburan menerima jasad Kupret dengan riang gembira. Cacing stand by di meja makan. Malamnya para warga penuh sesak wakafan di gubuk reot miring kekanan sepuluh derajat milik Kupret. Jangkrik pun tak ketinggalan. Semuanya wakafan hingga selesai dan pulang membawa beras dan gula dalam bungkusan kecil yang Kupret kumpulkan selama bertahun-tahun mengikuti wakafan di hari terakhir. Ini amanah !

Jogja, 2010





[1] Mengirim doa bagi orang  meninggal

CINTA ABAD 21



Senja baru saja berpamit. Hendak beristirahat di balik bukit. Adzan magrib mengantarnya merangkak di antara awan di kolong langit. Dan euphoria jingga berakhir. Burung kembali ke sarang di ranting pohon. Kelelawar bersiap meminum darah di cangkir gua. Altar menyiapkan kursi untuk rembulan.
Akhirnya beberapa detik setelahnya, malaikat menggelar karpet hitam. Membungkus sebuah desa dalam kelam. Desa yang dikenal dengan nama desa Biasa Saja dan ditempati orang-orang sederhana. Penuh kerukunan bertetangga dan bersahaja.
Kau duduk diberanda. Mengamati malam lantas mengaitkan dengan cinta. Mengurai kata dalam bahasa malam. Karena cinta terkadang bergelora saat petang tiba. Hingga kau mulai terbawa suasana kesunyian setelah senja.
 Desa Biasa Saja hening seketika. Begitulah suasana saat petang mulai tiba. Dari utara suara langkah terdengar, tubuh cungkring berjalan menuju kearahmu. Melilit tubuh dengan sarung. Bersiul-siul. Mendendangkan lagu cucak rawa. Dekat dan kian dekat. Dialah Cakramandala anak kepala desa Biasa Saja.
“ Mas, sampeyan mau kemana?” kau berdiri menyapanya.
“ Lha mau keliling-keliling desa. Menikmati suasana, hehehe. . . .” Cakramandala menjawab dengan aksen Jawa kentalnya.
“ aku arep melu mas?”
“ Youwes, ayo!”
Kau dan cakramandala mulai berjalan mengitari desa. Bersama-sama menyiulkan lagu cucak rawa. Membelah malam bersamanya. Tidak ada acara di langit malam. Maka para bintang tak berkelip dan berkumpul, mereka diam. Rembulan entah datang entah tidak walau kursi sudah disiapkan. Tetapi jika sekarang adalah awal bulan maka bisa jadi rembulan tiada akan datang karena mungkin sedang datang bulan. Dan kursi tetap kosong dalam kehampaan hingga petang kian kelam.
 Cakramandala, pemuda berusia dua puluh lima tahun. Sosok bersahaja dan dewasa. Hanya malang nasibnya, setelah lulus SMP kelas 3 tidak bisa melanjutkan SMA karena biaya. Cakramandala 10 bersaudara, dan dialah yang tertua. Walau bapaknya kepala desa, tetap saja tak cukup biaya. Ingat ini Desa Biasa Saja, oleh karenanya sebagai kepala desa gajinya tak seberapa dan apa adanya. Setidaknya cukup buat keluarga.
 Sebenarnya bisa saja Cakramandala meraih cita-cita, sayangnya bapaknya adalah orang yang jujur. Pahamilah maknanya. Biarlah Cakramandala membantu ayahnya menyekolahkan adiknya. Menopang adiknya agar lebih dari bapaknya. jika bapaknya kepala desa, maka penuh harap dalam doa cakramandala, salah satu adiknya kelak menjadi kepala negara. Yang jujur dan bersahaja sebagaimana bapaknya.
Piye kuliahmu? Lancar to?” Cakramandala memecahkan sunyi. siulan berhenti.
“ Alhamdulillah, Mas. Sudah semester dua.” Kau menyesuaikan langkah Cakramandala.
Lha jurusan apa to ngambilnya?”
“ Filsafat, Mas. Aku suka filsafat tapi aku yo seneng sastra, hehehe . . . .
Woalahh… calon pemikir dan sastrawan iki. Pokoke aku doakan biar Gandawangsa dari desa Biasa Saja akan jadi orang yang hebat nantinya. Jangan kaya aku, pengangguran terhormat. Dihormati karena anak kepala desa, hihihi . . . .Cakramandala menoleh padamu sambil cengengesan.
Kau tersenyum saja. Lantas kembali dalam sepi. Beberapa detik kemudian, sepi ditelan suara. Suara jangkrik bersahut-sahut meneriaki sunyi. Kau dan Cakramandala mulai melewati pematang sawah. Udara seperti biasa, dingin. Merayap di antara pori-pori kulit setelah sebelumnya menelusup rimbunan daun pohon beringin. Mencipta suasana bagi pemangsa. Ular mencari tikus sawah. Tikus sawah mencari cacing. Cacing mencari cacing lainnya karena sedang main petak umpet.
“ Mas, apa mas pernah merasakan cinta?”
Cakramandala berhenti tiba-tiba. Memandang kearahmu. Menggeleng-geleng sembari tersenyum. “ Lho kok tiba-tiba nanya cinta? Hehehe, mau nikah. Ya?"
“ Gak kok Mas, hanya mau membandingkan saja cinta jaman dahulu dengan sekarang. siapa tau bisa jadi kajian Filsafatku atau malah bisa kujadikan cerpen...hehehe”
            "Owh. Lha piye yo...Aku iki wong ndeso, aku taune  cinta membosankan bahkan terkadang kejam!” bahasa Cakramandala mulai bercampur. Itulah ciri khasnya sebagai anak kepala desa Biasa Saja yang hanya tamatan SMP kelas tiga. Cakramandala selalu berusaha memakai Bahasa Indonesia yang baik, hanya saja saat di rumah keluarganya selalu memakai Bahasa Jawa. Makanya Cakramandala terbiasa dengan dua bahasa. Jawa-Indonesia. Bahkan suatu kali ketika upacara, dia bertugas membaca pancasila. Sila satu sampai empat dibaca sempurna tapi ketika sila kelima langsung memakai bahasa jawa karena lupa 'Keadilan sosial Kanggo kabeh.... Itulah hebatnya Cakramandala. Bayangkan saja.  
            “Apa Sampean  gak salah mas, cinta kenikmatan. Kekuatan. Kelembutan. Kesyahduan.”
            “Tenane? bukankah cinta sandiwara dunia?”
            “Ya benar mas, coba rasakanlah! cukup dengan selembar kertas sajak, segenggam harap, setumpuk kasih, sepucuk mawar, atau segenap rasa sayang lantas dendangkan lagu cinta.”
            “Lha aku iki sudah merasakan. Aku melihat di berita, di koran, di majalah, di cerita orang yang aku tau cinta itu makin mengerikan. Makanya aku masih enggan bermain cinta. Kecuali mencintai Gusti Allah. Hihihi….” Cakramandala cengengesan.
            “Maksud sampean?”
            “Sebentar. Aku mikir dulu. Menyiapkan bahasa Indonesia yang baik biar ora kecampur-campur kaya rujak cingur. Hehehehe….” Cakramandala bertopang dagu. Seperti gunung menopang langit.
Kau membiarkannya berfikir di sela langkahmu dan langkahnya. Pematang sawah mulai kau tinggal. Kau mulai merasa hening kembali. Hening dalam keheningan malam. Dingin. Dingin dalam malam yang biasanya dingin. Malam gelap. Gelap dalam hitamnya malam. Kelam. Pekat. Tentunya semalam diantara malam-malam yang panjang belum tentu hitam mencekam.
 Ada kalanya satu malam, dua malam, tiga malam, atau empat malam di antara malam-malam yang telah lalu atau malam-malam yang akan datang bisa jadi sedikit terang. Yakni saat purnama membusungkan dada di singgasana langit sebelah timur sana. Dengan mahkota cahayanya yang membuai cakrawala, membuat pualam kota berlutut. Para bintang berkelip bernyanyi, mengiringi peri-peri yang menari.
            Tetapi malam ini, satu malam setelah malam kemarin terasa gelap. Entah kemana perginya rembulan. Datang bulan kah? Ditelan malam kah? Atau mungkin sedang menghadap Tuhan. Menanyakan mengapa dirinya bertugas di saat malam padahal malam adalah waktu bagi orang-orang jahat berbuat kejahatan dan waktu bagi kesenangan berfoya-foya. Sesekali bagi kebaikan kusyuk memuji Tuhan. Oh ya, kau bertanya lagi.
            “Sudahkah sampean selesai mas?” tanyamu saat setelah menyadari langkah telah kembali ke jalan Desa.
            Cakramandala menggeleng. “Belum” ujarnya sembari mulai melinting sembako  rokok dan menyalakan.
            “Ah bagaimana to mas sampean ini, berabad-abad para penyair atau sastrawan menggoreskan cinta. Entah berapa tinta mengalir, tertuang, melukis, mengukir tentang cinta. Gibran, Tagore, Shakespare, Chekov, Gie, Sapardi dan semuanya berbicara tentang keindahan dan keromantisan. Hanya sesekali kepedihan.” kau mulai memberondongnya dengan kata-kata.
            “Lha kui sopo to? Aku Cuma kenal kang Sapardi. Tulisannya suka nongol di koran. Cinta dibayanganku tidak seperti itu Gandawangsa, ini abad modern. Abad 21, cinta bukan lagi keindahan tapi keanehan. Kejam bahkan!” Cakramandala mengangkat wajah. Tegas menjawab. Berhenti melangkah. Sejenak.
            “Apa maksud sampean mas? aku pernah baca cerita cinta Adam Hawa, Romeo Juliet, juga Laila Majnun. Semuanya luar biasa indah. Hanya kepedihan sesekali jarang ada kekejaman dari kisah itu.”
            “Maaf Gandawangsa! Ingatlah kita beda zaman. Dulu mungkin cinta demikian adanya. Dari kesederhanaan dan ketulusan. Tapi ingat kini kerajaan cinta adalah uang!”
            “Jelaskan itu mas.” Dan kau memasang telinga. Bersiap mendengar pemaparan cinta. Kaki tetap melangkah biasa di jalan desa.
            “Begini. Ehm…ehm…seorang ibu itu kan kodratnya mencintai dan mengasihi bayinya yang adalah darah dagingnya. Tapi coba lihat, sekarang banyak ibu membunuh bayinya, menjual bayinya, memasukan bayinya di karton lantas menaruh di sembarang tempat. Di tempat sampah. Di pinggir jalan. Di depan pintu rumah orang. Apakah itu keindahan cinta ?”
Kau diam saja dalam langkah yang tetap biasa.
            “Seorang ayah kodratnya mencintai anak gadisnya, iya to?. Melindungi perawannya dari para lelaki biadab. Tetapi ketika ayah malah memperkosa anak gadisnya, memaksa melayani nafsu birahinya. Apakah itu bagian dari kelembutan cinta ?”
Kau menggeleng sekali dalam langkah yang mulai gelisah.
            “Seorang anak kodratnya mencintai ibunya. Patuh dan hormat terhadapnya sebagaimana ia tahu surga di telapak kakinya. Tetapi ketika anak itu dengan bodohnya memperkosa ibunya, membunuh dengan menikam perut ibunya, membakar ibunya, apakah itu bagian dari kesyahduan cinta ?”
Kau menggeleng dua kali. Menunduk. Kakimu mulai menyepak kerikil.
            “Seorang suami harusnya mencintai istrinya sebagaimana janji manisnya saat ijab Kabul. Tapi ketika suami itu melacurkan istrinya pada rekannya atau pria belang lainnya apakah itu bagian dari kekuatan cinta ?”
Kau menggeleng tiga kali. Bergetar hebat hatimu.
            “Dan seorang istri kan harusnya berbakti dan mencintai suaminya. Menerimanya apa adanya. Tetapi saat suaminya cacat karena kecelakaan. Di saat lelaki lain datang menabur perhatian. Lantas sang istri memilih pergi. Membunuh suaminya terlebih dahulu. Memotong kelelakian suaminya saat tidur dan berdalil suaminya selingkuh. Apakah itu bagian dari ketulusan cinta Gandawangsa. Heh !” Cakramandala menjelaskan tegas dengan satu nafas. Membahasakan dengan lugas tanpa campuran jawa. Dan menarik nafas dalam setelahnya.
Kau menggeleng-geleng. Diam dan Bungkam. Burung hantu di atas pohon menutup mata dengan sayap membayangkan kejantanannya. Hening kembali. Jarum jam tangan usangmu berputar ke kiri. Detiknya berbunyi. Menitnya berganti. Begitu dan begitu. Kau bertanya lagi.
            “Be...be...gitu to mas? Mengapa demikian?”
            “Ah mudah saja Gandawangsa! seorang ibu membunuh bayinya karena lenyap sudah kekuatan cinta. Tidak punya uang untuk mengurusi dan membeli susu bubuk. Menjual bayi karena butuh uang padahal itu bukan ciri seorang ibu. Seorang ayah memperkosa anak gadisnya karena stress ditinggal istri akibat tidak pernah diberi uang. Anak membunuh ibunya karena tidak dikasih uang untuk membeli motor. Suami melacurkan istrinya karena tidak tahu bagaimana lagi mendapat uang untuk menebus utang, bahkan ada suami yang menjual istrinya demi mendapat uang untuk kembali membeli perawan.  Istri memotong kelelakian suami agar segera mati, lantas pergi dengan lain lelaki yang bisa memberinya uang untuk membeli dan bergaya dengan HP Blackberry. Segalanya uang Gandawangsa! Uang membutakan cinta. Membunuh jiwa-jiwa sederhana. Uang dicintai, cinta dilukai. Apakah itu cinta. Jika kau tak percaya apa kataku, buka mata depan berita. Telaah kata di tiap media Koran. Pasang telinga di mulut radio maka kau mengerti cinta abad ini.” Cakramandala berapi-api berkhotbah dengan bahasa yang benar-benar lugas. Kemampuan bahasa dengan baik dikeluarkan sebagaimana presenter silet berkoar. Hanya kecepatannya stabil.
            Dan kau bingung. Padahal kau bertanya akan keindahannya. Dan kau menelan cerita pahit tentang cinta melebihi pahitnya air rebusan daun pepaya yang hijau mengental warnanya. Lebih pahit dari obat malaria. Padahal tadi kau bilang cinta kelembutan, kesyahduan yang seolah memberi gambaran akan sebuah kemanisan layaknya anggur hijau yang matang. Dan kau segera membayangkan bayi malang seperti anak tikus merah muda yang terbuang. Ayah yang bejat melebihi singa jahat. Anak durhaka layaknya air tuba. Suami biadab bagai Abu lahab. Dan istri kejam dengan pisau tajam yang membuat burung hantu menutup matanya dengan sayap, membayangkan kejantanannya. Padahal kau jarang melihat yang demikian. Tapi sekarang kau berhadapan dengan bayangan.
            “Piye ? iya to. Cinta iku saiki aneh. Kejam. Mulakno aku urong nggolek bojo. Atiku nggo gusti Allah wae sikek. Hihihi….” Cakramandala meringis cengengesan. Raut wajahnya kembali tenang seiring kepulan asap rokok lintingan. Ocehan campuran Indonesia-jawanya sangat khas anak kepala desa.
            “Ya, sampean benar mas. Zaman edan. Cinta abad 21” kau merunduk lantas menatap ke depan. Menyadari bahwa rumahmu tinggal bebeapa langkah.
            “Youwes, sudah sampai rumahmu lagi. aku yo mau pulang iki. Lapar.” Cakramandala menyalamimu. Melilitkan sarung di badan lagi. Melangkah pergi. Bersiul-siul sendiri. Bernada cucak rawa.
Dan sekarang kau sendiri. Di beranda, sejenak kau masih mematung berdiri. Cakramandala pergi. Malam kian petang. Petang yang adalah gelap. Gelap yang adalah hitam. Hitam yang adalah bagian dari malam. Malam yang membungkusmu di desa Biasa Saja dalam kebingungan. Tentang cinta abad 21 yang mencintai uang. Kau masih saja heran memikirkan burung hantu yang menutup mata dengan sayap membayangkan kejantanan. Kau mengucap salam. Masuk kedalam. Terlentang. Tidur. Terpejam. Malam.                                  




Jogja, 2010.
“Soa-soa hitam”