Selasa, 08 Februari 2011

AKU SEMAKIN MENCINTAIMU ELVA

Aku semakin mencintaimu, di saat kumulai mencintainya

1
            Ini adalah awal bulan desember 2010. berarti tepat dua tahun sudah kita mengarungi mahligai cinta. Pagi dan malam kita berdoa, agar cinta kita kekal selamanya. Hanya saja semua berubah tiba-tiba. Suatu ketika pada saat senja.
2
            Pada suatu ketika, di suatu tempat kala senja aku pertama kali melihatnya, kemudian mengenalnya. Itulah balairung. Balairung di kala sore adalah salah satu wakil keindahan. Manakala melihat ke barat, maka gerombolan awan menyapu langit, dan angin berhembus dengan tenangnya. Semarak burung-burung yang terbang di atas kepala menjadi saksi bahwasannya di sini adalah taman kehidupan, dimana burung jantan bernyanyi menggoda burung betina. Cemara yang adalah tujuh bertengger berjejer. Bentangan rumput dibawahnya seakan penyangga. Perkasanya Balairung seperkasa benteng Yunani, dindingnya berwarna kream agak tua, mendekati warna khas batu Romawi, bertingkat empat di topang tiang-tiang sebesar dua pelukan lelaki dewasa. Di terasnya terdapat empat payung besar dengan meja dan kursi. Dua payung di bawah pun demikian susunannya. Warna payung adalah biru, walau tak seindah biru langit pagi. Lalu lalang orang ke sana ke sini. Ada yang pulang, datang, dan pergi. Alam selalu diam penuh takjub saat dirinya melangkah.
3
            Kau tau sayang, singkat cerita kini aku sadar. Aku semakin mengagumi jiwamu saat aku mulai menyukai parasnya. Entah bagaimana bisa, hatiku yang ada padamu kini mulai membelah menjadi dua. Setengah jelas padamu dan setengah mulai ada padanya. Aku goyah sebagaimana perahu pinisi yang dibuai gelombang. Aku tau bahwasannya aku tak bisa jauh darimu, tetapi karena jauhnya ragamu membuatku merasa lebih dekat dengannya. Laut memisahkan diriku dan dirimu. Sedang aku dan dirinya hanya terpisah dua tiang berukuran dua pelukan lelaki dewasa. Aku tahu bahwa aku akan menyesal jika meninggalkanmu duhai rindu, tapi dirinya mulai menggoda walau hanya dengan dua kali tatapan mata, membuatku berfikir tiada kata sesal setelah bersamanya.
Ini adalah dilema. Begitu orang mengistilahkannya. Semua yang terbaik padamu kini juga terasa ada padanya, karena aku membayangkanmu lewat kenangan kita saat bersama dan aku membayangkannya karena ia memang di depan mata. Kulitnya memang putih, aku bisa menerka dengan logika berkata kulitmu pun sama. Wajahnya adalah lukisan Tuhan, padahal kata itu adalah ucapanku berulang-ulang padamu saat kita berhadapan. Hati memang tak bisa bohong atau jangan-jangan aku mulai terhasut setan. Jika seorang merasa sebagai penyelam handal, maka aku tantang menyelami hatiku dan memberi sebuah jawaban. Tapi pastilah akan tenggelam karena hatiku kelam dan begitu dalam.
4
            Aku mulai menyadari keseharianku yang tak teratur. Jiwa mulai tergoda. Semua yang terbayang seolah dirinya, kemudian dirimu. Begitu dan terus begitu. Berganti seiring detik menjadi menit. Setiap dongeng yang kubaca seolah dia yang bercerita, dengan dirimu yang mencipta suasana. Jelaslah aku ada di antara imajinasiku dengan ceritanya dan suasanamu. Aku di tengah dua lambaian bidadari dengan tangan yang tersembunyi malu di belakang bahasa mata. Memilih begitu sulit. Aku ingin Melangkah ke arahmu tetapi berat meninggalkannya, melangkah ke arahnya tapi tak rela pergi darimu. Beginikah Tuhan menguji sebuah kesetiaan? Mana yang sebenarnya benar agar aku tidak melakukan kesalahan yang salah. Berkali aku ungkapkan bahwa aku sungguh dan sungguh mencintaimu tetapi aku juga mulai mencintainya. Aku merindukanmu, tapi aku mulai tak tahan dengan parasnya. Doamu adalah bahasa cinta kita dan tatapannya yang hanya berani sesekali itu adalah pengharapan akan sebuah rasa. Dia membuatku berharap, tapi aku ragu dengannya karena masih ada dirimu. Berarti jelas aku yakin denganmu. Ah! Tidak juga rupanya. Lelakilah yang terlebih dahulu mengungkapkan dan wanita memberi isyarat penuh harapan. Dia membuang umpan berupa senyuman dan menungguku melahap, menelan. Hanya saja aku seperti rakus. Sudah memakan umpanmu masih juga berfikir mendekati umpannya. Beginilah rasa ketika aku yang mencintaimu, membiarkan bibit cinta di ladang hati tumbuh karenanya.
5
            Ada dua hal sayang, yang bisa membuat semua kembali seperti biasa. Membuat cintaku hanya untukmu dan tidak terbagi untuknya. Yakni aku tidak melihatnya dan hanya melihatmu. Hanya saja nyatanya kau jauh dariku dan aku dekat dengannya. Jarakku dan jarakmu adalah bentangan samudra yang maha luas, sedang jarakku dengannya hanya terlampau daratan 5 km. Bayangan wajahnya menggeser wajahmu di malam-malamku. Aku merasa terganggu tapi juga senang akan hal itu. Harusnya aku bisa membuat bayangan itu jauh, tapi bayangan tetaplah bayangan. Dia bukan lagi meninggalkan pesona di kepala, tapi kakinya mulai menjejaki hati sehingga kemana bayangan itu pergi hati akan mencari dengan intuisi. Seolah akulah ibarat pejalan kaki sejati, aku sangat mengenali dengan baik setiap kelokan jalan dan kerikil di atasnya membuatku mudah menemukan yang aku cari. Ini dunia dan aku manusia. Sandiwara adalah bahasa kehidupan. Bilamana aku mencintai dua, tiga, atau empat adalah wajar tapi jika kupermainkan semuanya maka pantas aku dibilang kurang ajar. Setia adalah kata yang kau dengar saat pertama. Tetapi kini saat aku diam tanpa bahasa hatiku mulai berteriak bahwasannya kesetiaanku mulai terbuai olehnya. Seakan kata setia bersiap melompat dan berpindah padanya lantas pergi jauh meninggalkanmu dalam duka. Aku tak mau yang demikian itu terjadi, karena janjiku akan disampingmu sampai mati. Hanya saja, hati seolah tak tahan lagi untuk bicara bahwa jarak terkadang pembunuh kejam bagi jiwa-jiwa pecinta.

6
            Aku sadar akan hal kedua, aku tak bisa membuat bayangannya pergi sebagaimana telah ia tinggalkan jejak di hati. Aku mulai berfikir akan hal gila yang bahkan Gibran tak akan membayangkannya. Aku ke dokter bedah. Aku melepas hati dari tubuhku.

7
            Kita takkan pernah merasakan hangatnya langit pagi jika tak bersahabat dengan langit malam. Karena malam memunculkan pagi saat dirinya berpamit dari waktu. Setelah tadi malam aku dibedah, pagi ini aku membuat sejarah dunia. Aku hidup tanpa hati. Aku mulai berjalan keluar membiarkan dokter yang sedari malam menjagaku menganga untuk kedua kali. Aku menenteng sebuah peti kecil yang tak lain berisi hatiku sendiri. Saat aku keluar menghadap pagi, aku tak merasa hangat. Oh ya, aku baru sadar kalau tak lagi punya hati, berarti tiada intuisi. Aku tenang saja dan berjalan lagi, hatiku kubawa ke kantor pos untuk segera aku kirim padamu, duhai cintaku. Aku merasa perkasa. Seperti sosok kapten Deavy Jones dalam kisah Pirates of Caribean dimana ialah kapten kapal Flying Dutchman. Ialah lelaki tanpa hati. Hatinya dijaga kekasihnya yang mana mereka hanya bisa bertemu setiap sepuluh tahun sekali. Aku merasa hebat. Gagah sepertinya.

8
            Untuk pertama kalinya setelah hatiku tiada karena kukirim padamu, aku akhirnya bertemu lagi dengannya. Aku tak lagi merasakan apa-apa. Mati rasa. Hanya sepertinya dia tau kalau aku tak punya hati lagi. Jangan tanya bagaimana ia tahu karena akupun tak tahu. Hal yang membuatku tak percaya adalah di tangan kanannya sudah ada hati yang baru. Hati itu berwarna merah dan terukir lambang bunga sesuai namanya. Jika dipasang ketubuhku pastilah selamanya aku akan lupa dirimu dan berlayar jauh bersamanya. Ternyata kau setia. Tanpa sepengetahuanku, di seberang laut sana kau tetap menghitung senja di tiap penghujung sore di mana langit merona jingga. Kau menungguku sambil menggenggam peti berisi hatiku. Seolah sudah sepuluh tahun dan aku akan segera kembali padamu seperi kisah Deavy Jones. Padahal di sini aku mulai menikmati senyumnya. Akhirnya dia berani mendekat kepadaku dan aku pun mulai berjalan ke arahnya. Aku bisa melihat matanya dengan jelas. Dari situlah aku mengerti bahasa kesunyian antara mataku dan matanya, tiada perlu di urai panjang itu adalah cinta. Dia menyodorkan hati berwarna merah berukir bunga, aku tersenyum mengulurkan tangan tetapi tiba-tiba kutarik kembali. ”Maaf!” hati berukir bunga tak ku sentuh sedikitpun.

9
            Aku teringat dirimu seketika saat cahaya merah saga terlihat dari arah barat daya. Aku beranjak pergi. Aku berlari. Membelah angin dan meninggalkannya dalam sunyi. Aku membiarkannya menangis memeluk hati berukir bunga. Isak tangis dan air matanya justru membuatku semakin cepat menjauh membelah angin. Aku takut goyah jika semakin lama dekat dengannya. Aku cari kapal di pantai. Lantas aku berlayar selama satu hari mengikuti cahaya merah dibarat daya. Akhirnya aku tiba. Dari kapal kulihat wanita tergeletak dengan jilbab menutup wajahnya. Aku terbelalak. Aku tau itu dirimu. Saat kapal menepi, aku lompat dan berlari. Aku terlambat, saat kusentuh dirimu tubuhmu dingin. Pucat. Senyum terakhir sempat kau simpulkan saat malaikat surga membawamu terbang. Ternyata cahaya merah saga itu berasal dari hati dalam peti, hati yang kau hias dengan doa hingga bercahaya sesuai namamu. Aku ingin mengambil hati yang tak jauh di sampingmu tapi aku tak mau melepas pelukanku padamu. Kubiarkan hati itu terseret gelombang. Tenggelam. Samudra menelannya. Aku kaku di sampingmu. Menangis saat menguburkanmu, langit malam tiba. Aku sedih karenamu juga karena hilangnya hatiku. Menangis dan menangis hingga malam kian petang.

10
            Esoknya setelah kembali berlayar satu hari, aku melangkah lemah. Tertatih menuju lembah. Lelah karena air mata yang semalam tumpah. Sekarang aku kembali mencari dirinya. Ingin menjemput hati merah berukir bunga sesuai namanya. Menjadikannya obat dari luka menganga karena ditinggal olehmu dan hilangnya hati yang ditelan samudra bahkan mungkin telah dimakan ikan barakuda. Dirinyalah yang membuatku kembali merasakan cinta lewat tatap mata. Walau tanpa hati dia menghilangkan mati rasa. Serakah memang. Aku ingin kembali menjemputnya setelah ditinggal olehmu. Tapi apa salahnya aku mencoba. Aku adalah manusia yang butuh cinta. Aku merasa kian dekat dengannya. Semerbak dari koloni bunga yang kian banyak adalah petunjuk. Aku yakin dengan berjalan ke utara mengikuti semerbak bunga bisa membuatku bertemu dengannya.
            Akhirnya aku tiba juga di rumah beratap pelangi, berdinding anggrek, berlantai mawar dengan bunga matahari sebagai pagar yang mengelilingi. Dia sedang duduk memetik melati. Berdiri seketika saat melihatku. Dia berbicara lewat air mata. Mulutnya diam seribu bahasa. Menunduk seketika. Telunjuknya mengarah ke kanan, dan aku melihat sebuah gundukan dengan bentuk hati bertabur tumbuhan mawar putih diatasnya. Dia tak berani menatapku tapi mulai mencoba bersuara.
Aaa...ak...aku kira kau takkan kembali. Hati yang kubawakan berukir bunga kala itu telah aku kubur. Kiranya aku bisa melupakanmu. Tapi kini kau kembali. Maafkan aku,” katanya sendu. Air matanya menetes dipucuk melati yang berwarna putih.

            Aku pun demikian sedihnya. Aku melangkah mendekat kepadanya yang masih menunduk pilu. Hanya saja langkahku tertahan seketika. Saat lelaki itu muncul tiba-tiba dan memegang pundaknya.
”Ada apa, Sayang? Kenapa menangis?” kata lelaki itu sambil sesekali memandangku.

Dirinya dan lelaki itu diam saja ditempatnya. Akupun diam juga. Aku berbalik seketika. Aku kecewa. Aku pedih. Aku pergi meninggalkannya dalam pelukan lelaki itu. Aku mati rasa. Kehilangan cahaya hatimu juga kehilangan bunga hatinya. Aku berlari. Kencang dan kencang. Aku tersandung. Terjungkal. Menggelinding. Terpental. Terbanting. Gelap. Lemas. Ringan. Melayang. Jauh.



Jogja, 2010
Penyair Timur


Tidak ada komentar:

Posting Komentar