Selasa, 08 Februari 2011

HIKAYAT PENGEMIS



1
Terkadang saat petang kian kelam, aku merasa hening. Sepi dalam sunyi. Aku memang hidup sendiri. Berteman duka, sesekali ada juga gembira berkenalan, tetapi segera pergi begitu saja setelahnya. Aku tiada punya kawan lagi selain duka, bahkan yang mencintaiku bukan gadis atau janda melainkan luka. Luka menganga karena ketidak adilan. Luka yang menyayangiku karena kesendirian yang tiada berkesudahan. Bagiku hidup sendiri seolah menghitung hari, menikmati sisa senja menunggu mati. Siapa yang mau denganku?
Akulah lelaki bertopi, yang selalu menengadahkan tangan meminta di pinggir jalan. Memasang muka memelas, memiringkan mulut ke kiri dan memejam-mejamkan mata. Seolah akulah domba kelaparan yang siap diterkam serigala lapar di padang kehidupan.
Sebenarnya aku mampu hidup normal dan berjalan lancar tanpa pincang, hanya aku besar dengan kemalasan dan sejatinya aku telah belajar dari raja akan arti dari sebuah kemunafikan. Menipu dan berpura-pura itu mudah. Akupun heran kenapa pandai menipu. Tapi aku mulai sadar, aku menipu karena sering ditipu. Ibaratkanlah buah yang jatuh tak jauh dari pohon. Aku kian berubah menjadi serigala, karena serigala pernah menjadikanku domba. Santapan saat purnama.
2
Kenalkan namaku Sudjarwo Abdi Negoro, hanya aku lebih di kenal dengan nama Mblukutuk. Nama itu dipopulerkan pertama kali oleh temanku sendiri yang bernama Ajidarma atau lebih di kenal dengan nama Njeprak. Awalnya aku tak tau kenapa nama kami berubah begitu jauh. Tapi kata Njeprak, sebagai pengemis nama kami terlalu bagus sehingga tidak pantas. Hingga saat ini aku tak mau ambil pusing soal nama, kita lupakan dulu itu.
Aku tinggal di ibu kota. Di kolong jembatan tepatnya. Aku bekerja sebagai peminta-minta. Tapi jangan salah, aku sekarang pengemis resmi. Aku telah di angkat menjadi PNS. Pegawai Negeri pengemiS. Jadi aku setingkat lebih tinggi dari pengemis biasa pada umumnya. Aku pengemis yang diakui Negara. Di bawah pimpinan presiden pengemis. Kami para pegawai mengemis di Negara sendiri, lokal. Sedang para atasan termasuk Presiden kami akan mengemis di Luar Negeri karena mereka lebih berpengalaman. Sebagai PNS, wajar jika akhir-akhir ini aku berangkat mengemis jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore. Tidak seperti pengemis lain yang berangkat dan pulang seenak jidat.
3
Kau tau teman, untuk menjadi PNS tidak segampang yang kalian bayangkan. Kami harus mendaftar dan mengikuti seleksi. Dari ribuan pendaftar, nanti akan ada yang tersisih dan sebagian di angkat menjadi pegawai.
Sssstttt…. Aku bocorkan padamu bagaimana trik sehingga aku akhirnya diterima sebagai PNS. Ketika seleksi jangan pernah polos dan jujur. Bersifatlah semunafik mungkin. Jadikanlah dirimu seakan serigala berbulu domba. Jika perlu berbulu kucing. Karena yang mereka lihat saat penyeleksian adalah sejauh mana kau pandai memasang muka memelas, membuat kaki pura-pura pincang, dan tangan bergetar seolah kedinginan.
Kau tau, aku baru bisa jadi PNS setelah 5 tahun mengemis. Oh ya, bendahara pengemis kami adalah tetanggaku dulu ketika ia masih di kolong jembatan. Tetapi setelah dia jadi PNS dan diangkat menjadi bendahara, dia pindah diperumahan gubuk Bantar Gebang. Namanya Srisusahsenang bin Samasaja. Nah dia itu sebenarnya tolol minta ampun, berhitung hanya pandai sampai 100 dan selebihnya memakai kalkulator butut yang selalu dikalungkan dilehernya. Sebenarnya dia tak akan pernah menjadi bendahara jika bukan karena Ayahnya adalah seorang legenda. Ayahnya -­pak Samasaja- terkenal sebagai penjelajah yang telah berkeliling Sabang sampai Merauke bahkan konon katanya pernah juga ke Eropa. Tapi yaaaaa…untuk mengemis juga.
Hal kedua yang membuatnya menjadi bendahara justru karena ketololannya sehingga para atasan berpendapat ia tak akan licik. Walau semua pengemis munafik, jika bodoh maka mustahil akan membodohi sesama orang bodoh. Berbeda jika bendaharanya pintar, pasti akan korupsi uang khas dan membodoh-bodohi orang yang memang bodoh. Kami memaklumi hal itu, karena kebetulan kami belum mempunyai lembaga KPK+K. Komisi Pemberantasan Korupsi Pengemis. Di sini demokrasi benar-benar terjunjung tinggi. Pemerintahan dari pengemis, Oleh pengemis dan Untuk pengemis.
4
Suatu ketika aku pernah ditegur sama temanku. Namanya Cubleng tapi ia lebih sering dipanggil Robert akhir-akhir ini. Konon katanya saat ada bule datang melihat-lihat kolong jembatan beberapa waktu lalu, hanya dia yang bisa berkomunikasi dengan bule itu. Aku tak tau benar atau tidak, karena semenjak jadi PNS aku sibuk terus.
            “Apakah selamanya kau akan jadi peminta? Bukankah kau masih muda, cobalah jadi buruh sepertiku. Setidaknya kita tidak tergolong orang malas?” katanya bijak.
Aku tersenyum saja. “Aku menikmatinya Robert, eh Cubleng. Inilah hidupku” kataku.
Lantas dia diam sembari mengepulkan asap rokok lintingan murahan. Memandang sampah-sampah yang terbawa arus sungai.
Pernah aku mencoba membuka pagi dengan doa. Berjalan ke selatan juga utara. Berharap akan sebuah pekerjaan yang berbeda. Tapi hingga senja menjemput petang, tiada tanda aku melihat jawaban. Dasarnya akulah peminta-minta. kemalasan adalah teman dan kesabaran seolah menjadi lawan. Maka jelas saat malam kian kelam, aku semakin yakin, jalanan adalah sejatinya kawan dalam kehidupan.
5
Aku juga sering mendengar nasehat temanku Cubleng yang sekarang menjadi Robert. “Ingat, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi lebih baik daripada meminta.”
Sayangnya nasehat itu selalu keluar di telinga kiri. Aku tak punya apa-apa untuk memberi sehingga aku lebih baik jadi yang meminta. Coba bayangkan, jika semua orang memberi maka siapa yang akan menerima. Jika tidak ada peminta-minta pada siapa mereka akan memberi. Bukankah aku sebagian dari keseimbangan hidup. Aku meminta agar kalian mau memberi. Sebenarnya aku tidak salah menjadi pengemis, berterimakasihlah padaku. Akulah penegur di jalan dengan mimik wajah memelas agar kalian tidak lupa untuk belajar memberi. Hahahaha….
6
Jika kalian merasa jengkel dengan adanya diriku dan teman-temanku yang hanya bisa meminta, maka sebenarnya justru ada sedikit rasa bangga pada dada. Seolah aku di utus Tuhan untuk mengingatkan manusia yang terbuai pada dunia agar mau berbagi.
Jikalau kalian jijik ketika melihatku, aku juga tertawa saja. Waktu dan angka akan menjawabnya dengan sempurna. Hitunglah berapa kali kalian sakit dalam sebulan, dua bulan, atau entah setelah berapa bulan. Sakit kulit maupun badan. Padahal kalian makan makanan bersih, mandi di air bersih juga tidur di tempat bersih. Sedang aku tidur di jalan, makan sisa orang, dan mandi di sungai bersabun sampah. Tetapi aku jarang sakit. Kenapa? Karena sakit kasihan pada kami. Kalau dia datang bagaimana kami berobat sedang uang untuk makan saja pas-pasan.
7
Baiklah sekarang sudah jam 7. Aku mau siap-siap mandi kemudian kerja. Ingat kan aku seorang PNS, aku menghargai kepegawaianku. Aku tidak mau terlambat. Aku mau belajar disiplin. Sebagai PNS aku harus bisa menjadi contoh pengemis swasta. Kau bisa lihat aku di lampu merah. Dengan pakaian sobek-sobek dan topi usang. Mukaku memelas kasihan, kakiku terpincang-pincang, dan tanganku bergemetaran. Itulah aku sejatinya PNS. Demikianlah dulu ceritaku. Lain kali kusambung kembali. Jika ada sumur di ladang, bolehkah kita menumpang mandi. Jika ada umur panjang, kita pasti berjumpa lagi.
***
Cahaya orange kekuningan terlihat ditimur. Mentari merangkak di balik bukit menggantikan bulan yang sedari malam begadang. Sesaat. Altar langit silau, jubah raja terbentang. Langit kuning kemuning. Menyiratkan langit biru lazuardi. Cahaya menyerbu bumi. Menari di pucuk-pucuk bunga di taman kota, juga di antara siulan burung jantan yang menggoda burung betina.
Yogyakarta, 2010
Penyair timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar