Selasa, 08 Februari 2011

Impian Gandawangsa menjadi Rasul


Inilah saat ketika malaikat kanan dan kiri berdiskusi. Menggaruk-garuk kepala, bahkan sesekali merenung. Malaikat tampak bingung, harus ditulis siapa kisah ini. Tak pernah ada sebelumnya, malaikat kiri menggeleng ‘’sepertinya ini bukan hal buruk’’ katanya. Sedang malaikat kanan berkata ‘’aku bingung’’.
***
‘’Assalamualaikoooommm” suara bocah berusia 10 tahun itu menggema di dalam rumah. Sepatunya dilepas lantas berjalan ke arah ibunya dan mencium tangannya.
‘’Waalaikumsalam, jagoan mama sudah pulang ya” kata ibunya seraya mengelus rambut bocah itu. “lekas cuci tangan nak, ayo makan. Papa juga ya” kata ibunya.
‘’Iya ma’’ bocah itu bergegas ke kamar mandi.
Ayah dan ibunya sudah di meja makan, saat bocah itu menuju meja. Dia duduk di tengah antara ayah dan ibunya di meja makan bundar. Keluarga kecil itu siap bersantap siang. Malaikat kiri usil menggoda malaikat kanan, sembari siap mencatat bila keluarga itu lupa membaca doa. Malaikat kanan berharap dalam hati, agar keluarga itu tak melupakan lafadz ‘Basmallah’.
“Mah! Pah!” bocah itu memanggil kedua orang tuanya.
“Ya sayang ada apa?” kata ibunya sambil menyiapkan nasi ke piring anak dan suaminya.
”Tadi Gandawangsa belajar agama”
“Oh, bagus itu nak”
“Bu guru selalu menyebut-nyebut nama Rasulullah, kenapa?”
“Lho itu kan nabi kita sayang” ibunya menyodorkan nasi ke suaminya.
“Tapi Gandawangsa heran Mah, kok Rasulullah terus yang disebut-sebut. Padahal ada nabi yang lain, kasihan nabi yang lain dong” bocah itu sedikit merengut.
“Bukan begitu sayang, karena Rasulullah itu kesayangan Allah.” Ayahnya berkata sambil tersenyum.
“Berarti Allah tidak sayang Nabi yang lain?” bocah kecil itu mulai nampak berfkir.
“Oh anu...sayang kok. Allah sayang semua Nabi, karena kebetulan Rasulullah itu Nabi pilihan makanya Allah lebih sayang.” Ayahnya mulai melirik ke istrinya.
Istrinya paham maksud suaminya. “Gandawangsa, kita berdoa dulu ya Nak, nanti dilanjutkan lagi.” Ujarnya usai menyodorkan nasi dan sup ayam ke anaknya. “Ayah pimpin doa dulu!”
Keluarga itu pun berdoa, 3 malaikat disebelah kanan mereka pun tersenyum lega. Segera membuka buku sakral mereka dan mencatatnya dengan riang gembira.
“Amin” ayahnya mengakhiri doa.
“Ayah!” anak itu berujar lagi. “Apakah Rasulullah bisa bertemu Allah?”
Ibunya melirik keayahnya. Memberi kode agar tetap memberi jawaban sederhana.
“Bisa sayang”
“Kenapa Rasulullah bisa dan Gandawangsa tidak? Kan sama-sama manusia?”
“Karena Rasulullah kan Nabi sayang.” Ibunya mulai berusaha jga memberi jawaban sederhana.
“Kenapa Rasulullah bisa menjadi nabi. Apakah dia kuat seperti Nabi Musa yang bisa membelah laut dan merubah tongkanya menjadi ular?”
“Oh emm...ya, tetapi Rasul tidak membelah laut. Rasul menjadi Nabi karena perilakunya yang baik Nak.” Ayahnya mulai berujar dan menghentikan sementara sendokan sup ayamnya karena kakinya terasa diinjak istrinya.
“Temanku Hakim juga baik Mah, dia terkadang membantuku mengerjakan tugas. Dia juga selalu membagi makanannya denganku. Kenapa dia tidak menjadi Nabi?”
“Eh...anu, Rasulullah juga pintar sayang” sahut Ibunya.
“Nah aku pintar Mah, Hakim juga pintar. Kami selalu mendapat nilai 10. Kemarin pelajaran agama aku dan Hakim sama-sama mendapat nilai 10. Pelajaran matematika juga” wajah polosnya nampak mengernyitkan kening.
“Oh itu sudah takdir Nak Allah menakdirkan Rasulullah untuk menjadi Nabi. Sekaligus Nabi pilihan.” Ibunya sesekali masih meginjakan kaki kesuaminya bila dilihat asyik menyendokan sup ayam dan meningalkannya menjawab pertanyaan anaknya.
“Apa takdir itu bu?”
Ayahnya memejamkan mata menghembuskan nafasnya perlahan. Berfikir. “Takdir ituuu???”
“Apa ayah?”
“Oh ya, apa tadi malam Gandawangsa bermimpi kalau siang ini kita akan makan sup ayam?”
Bocah itu menggeleng.
“Nah itu namanya takdir, jadi kita tidak bisa menebak apa yang terjadi kemudian hari. Hanya Allah yang tau.” Ayahnya tersenyum penuh kemenangan sesaat setelah melihat anaknya menganguk.
Bocah itu nampak berfikir lagi. Melihat hal itu, ayahnya menginjak kaki ibunya.
“Sudah-sudah, ayo dimakan dulu. Nanti supnya dingin” Ibunya mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bocah itu mulai menyendokan nasinya. Ayah dan ibunya mengelus dada. Malaikat lega dari ketegangan yang terasa.
“Bu!”
“Uhuk...Uhuk...ya Nak” Ibunya hampir saja tersedak karena kaget. Ternyata belum usai batinnya.
“Apakah Rasulullah juga makan sup ayam?”
“Iya nak, Rasul juga makan”
“Apakah Rasul bermain kejar-kejaran saat kecil?”
“Ya Nak, Rasulullah kan juga manusia”
“Apakah Rasullah punya teman dekat seperti Hakim sahabatku?”
“Ya, pasti punya”
“Tadi Ibu bilang Rasul sangat pintar dan berperilau baik. Apa lagi Bu?”
“Oh ya Rasul rajin shalat nak, pandai membaca Qur’an, juga sayang sama orang tua” Ibunya mengedipkan mata ke ayahnya.
Bocah itu menggeser kursinya kebelakang. Berjalan ke arah orang tuanya. Kemudian mencium pipi keduanya dan kembali lagi kekursinya. Ayah dan ibunya tersenyum sembari berpandangan heran.
Dengan polosnya bocah itu berkata “Gandawangsa mau belajar yang rajin. Mau rajin shalat dan membaca Qur’an serta selalu sayang sama orang tua. Gandawangsa tidak mau menjadi pilot, Gandawangsa mau ganti cita-cita menjadi Rasulullah biar disebut-sebut guru agama dan banyak orang. Boleh kan Mah?”
Keduanya berpandangan. Kaki mereka di bawah meja saling menginjak. Inilah pertanyaan polos dan ibunya berharap suaminya menjawab.
“Boleh kok, Gandawangsa pasti bisa menjadi Rasul.” Kata ayahnya tegas. ‘Dia akan menyadarinya ketika besar nanti’ bisik ayahnya pada istrinya saat istrinya melotot ketika mendengar pernyataan barusan.
“Horee....” Bocah itu kembali menyuapkan sup ayam dengan lahapnya. Tak mempedulikan kedua orang tuanya yang melongo heran, tetapi mulai benar-benar merasa lega karena pembicaraan telah usai.
“Ayah!”
“Uhuk...uhuk...ya nak” ayahnya terbatuk-batuk kaget. Ternyata belum usai batinnya. Apalagi yang akan ditanyakan sekarang.
“Aku akan mengajak Hakim menjadi Rasulullah juga” kata bocah itu sambil nyengir dan menaikan alisnya berulang-ulang.
Ayahnya tersenyum dan mengangguk-angguk ragu. Semoga dia benar-benar akan megerti saat besar nanti.
Di luar rumah altar langit dikuasai raja siang. Semari membusungkan dada karena mahkota cahayanya, raja siang menikmati tarian Fatamorgana di panggung Bumi. Keluarga tu melanjutkan makannya saat enam malaikat membentuk lingkaran dan berdiskusi mengenai masalah ini.

“Soa-soa hitam”
Jogja, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar