Selasa, 08 Februari 2011

AMANAH

Amanah ! Ini Amanah !
1
Lelaki yang dikenal dengan sifat ‘amanahnya’ itu mulai berfikir akan memotong segenggam atau dua genggam rumput liar yang kemudian akan direbus dan dimakan. Sebenarnya tadi ia sudah memancing di saat sore tapi jangankan ikan di dapat, cacing di air pun terasa tak tersentuh sama sekali, hanya seperti dimandikan di kali. Sial memang sedang merundung lelaki malang ini, lapar sudah melilit. Bagai sebuah kesengajaan kehidupan, perut yang keroncongan itu entah dihibur atau malah dicaci oleh alunan musik ‘keroncong’ yang berbunyi di salah satu rumah warga desa Mutian. Desa itu gelap sekarang. Bagaimana tidak, selimut hitam menutup langit-langit yang mungkin merasakan dinginnya angin. Lelaki itu tinggal seorang diri karena istrinya mati lantaran kelaparan juga karena sifat amanah lelaki itu. Pernah suatu kali saat istrinya kelaparan total…tal…tal….Ia berpesan pada suaminya yang kebetulan saat itu menggilingkan padi pak RT untuk mengambil beberapa agar bisa dimasak, tapi sungguh dengan tanpa rasa bersalah dia bilang pada istrinya “Maaf sayang, tadi pak RT hanya menyuruh saya menggilingkan dan tidak menyuruh saya melakukan selain itu. Makanya saya tak melakukan perintahmu”.
Besoknya sang istri meninggal dan dengan tabah dia sendiri yang memandikan, menshalati, menguburkan dan lain sebagainya karena sebelum mati sang istri meninggalkan pesan “Diriku akan mati karena lapar yang begitu melilit, harusnya kau bisa melupakan sedikit tentang amanahmu itu, lihatlah para pejabat yang tak pernah amanah itu, mereka perutnya buncit saking makmurnya. Waktuku telah tiba, jika nanti aku telah benar mati, urus sendiri mayatku jangan kau buat repot orang lain. Ingat! Ini AMANAH dari Istrimu Aminah”.
Itulah cerita singkat masa lalu tentang keluarganya.
2
“Sial! untung aku ingat pesan Bapak untuk menjaga amanah, kalau tidak tak sudi aku memakan rumput. Emang kambingnya Partono apa, makan rumput!” gerutu lelaki yang mulai tua itu. tubuhnya dekil, kurus, selalu melilitkan sarung putih di lehernya. “Ini sarung pemberian Bapak, jadi harus di jaga!” katanya selalu dengan bangga saat ditanya orang perihal sarungnya. Lelaki itu sudah bersiap dengan celuritnya. Sebenarnya ia bisa memasak kangkung dengan mudah karena ia tinggal di gubuk pinggir sawah sebagai penjaga sawah milik pak Barjo yang ditanami kangkung. Hanya saja pak Barjo waktu itu bilang padanya “Jagalah ladangku ini hingga panen tiba, dan aku akan membagi sebagian kangkungku padamu” sehingga lelaki itu kembali terbelenggu dengan yang namanya Amanah. Kangkung itu belum siap panen walau tampaknya menggiurkan, tapi ini amanah! Maka dia memilih tak bermain-main. Dia juga sebenarnya bisa saja mengambil sedikit dan pasti takkan ketahuan, tapi Bapaknya pernah berkata.
 “Tidak Beriman Orang yang Tidak amanah, kamu beriman gak Pret?”
“Saya beriman to pak, percaya sama gusti Allah!” kata Kupret waktu masih kecil dulu.
“Kalau begitu jangan sampai tidak amanah, karena selalu diawasi Gusti Allah”
“Nggeh pak!”
Begitulah Kupret. Dulu dia selalu belajar sama ayahnya, sehingga tau tentang amanah. Hanya saja waktu ayahnya meninggal, ayahnya tak bilang apa-apa (meningalkan amanah) pada Kupret yang kala itu taunya baru tentang arti amanah, sehingga Kupret tak pernah mau belajar apa-apa lagi dan ‘agak gemblong’ , hanya mengandalkan sifat amanahnya. Coba waktu itu bapaknya meningalkan amanah “Belajar yang rajin Pret. Ini AMANAH! Biar nanti jadi Presiden. Kan Bapak bangga di depan Malaikat …Bapak akan bilang ‘Itu lho anak saya, si Kupret Hebat kan’!”. Jika waktu itu Bapaknya benar-benar berpesan seperti itu pasti Kupret akan terus belajar dan belajar hingga jadi Superman.
3
Di bawah temaram cahaya bulan dan jangkrik yang teriak-teriak mungkin karena kelaparan juga, dia keluar dan menutup gubuk reot miring ke kanan sepuluh derajat miliknya menuju galengan sawah. Aroma lumpur basah tercium. Lelaki itu mulai melihat-lihat rumput yang kiranya agak baik untuk dikonsumsi, yang hijau dan segar, serta cukup gemuk tapi semua terlihat sama di mata lelaki itu. Sama-sama rumput yang dimakan kambing Partono pagi dan sore. Tidak ada pilihan lain kecuali dia harus melakukannya. Sudah dilekatkan ke tanah celuritnya itu, tinggal mulai menggesek-gesekan saja ketika ada yang memanggil.
“Hei, Kupret! Ngapain kamu?” lelaki yang menegurnya ini memakai sarung lengkap dengan peci. Rokok dimulutnya, rokok Lindri. Lintingan sendiri.
“Em, anu…anu, lagi anu. Oh, anu-anuin rumput,” jawab Kupret gelagapan. Takut rencananya ketahuan.
“Lho anu-anuin gimana? Edan kamu! Cepat sana, mending ganti baju. Ayo kita wakafan[1] di rumah Bejo!” pemuda desa yang lain menunggu sambil menghisap rokok.Ibu Bejo meninggal dua hari yang lalu lantas telah dikuburkan. Kami berniat wakafan kerumahnya” tambah pemuda itu.
“Waduh, aku tidak bisa ikut Kleng!” kali ini memang tidak ada amanah, sehingga ia bebas membohongi Tongkleng dan rombongan yang lain. Rasa laparnyalah yang membuat ia tak ingin ikut karena lapar juga karena ingin memasak rumput untuk kedua kalinya selama hidup.
“TAPI INI AMANAH DARI KYAI BROTO! KARENA INI WAKAFAN MALAM TERAKHIR” kata pemuda serentak dengan mata sedikit melotot dan wajah yang serius.
Dengan karena mendengar kata amanah serta kata wakafan hari terakhir yang sacral, lelaki itu segera masuk ke gubuk reot miring sedikit ke kanan sepuluh derajat miliknya itu. Berganti pakaian. Dia seketika sadar, kebiasaan wakafan malam terakhir adalah di sana nanti akan diberi makan kemudian saat pulang biasanya diberi bungkusan berisi gula, beras, telur, sarimi, dan kue. Aha…selamat tinggal rumput.
4
Pemuda­­-pemuda Desa Mutian terlambat sedikit. Wakafan di rumah Bejo sudah mau selesai. Mereka segera duduk ditikar yang baru disiapkan. Bejo ikut berkomat-kamit sembari menghisap rokok. Tak apalah mereka datang telat, Anggota Dewan kadang juga telat pas rapat, malah kadang gak hadir. Menunggu dan menunggu, Kupret sudah menanti dengan keringat dingin makanan yang akan diberi nanti. Teh dan “snack sudah diseruput habis saat orang-orang membaca doa. Lelaki ini sebenarnya tidak pernah ikut wakafan kecuali hari terakhir karena di hari terakhir itu dia akan mendapatkan gula dan beras untuk ditabung demi satu tujuan di akhir cerita. Akhirnya terdengar kata ‘Aminnn’ menandakan berakhir sudah. Serentak beberapa orang langsung mengusung nampan membagikan makanan ke orang-orang yang datang termasuk lelaki itu. “Olalala…gado-gado, mantap !” batin Kupret. Tanpa “Allahuma bariklana….” Kupret segera menyerbu makanannya. Dia kunyah sayuran hijau dan tomatnya dengan lahap sambil melupakan rumput tadi. Dua gelas teh habis sudah diseruput. Tak dipedulikan teman-teman yang melihatnya karena tidak ada amanah dari ayahnya tentang aturan saat makan.
Selesai makan, seorang Ustadz yang sedari tadi memimpin wakafan menutup acara ini. Sumringahlah muka lelaki itu, bingkisan yang diidamkan dibagikan penyelenggara wakafan pada orang-orang yang datang. Dia menerima dengan lapang dada penuh suka cita tapi dengan berusaha menunjukan wajah penuh iba karena turut berduka. Bahagia juga dirasa karena mendapatkan bingkisan yang membahagiakan yang begitu menyenangkan sehingga ia bisa menabung, menyiapkan semuanya sampai akhir cerita ini.
5
Sesampainya dirumah, sudah pasti gubuk reot miring ke kanan sedikit sepuluh derajat miliknya masih utuh walau pintu tak ditutup rapat. Tak ada yang bisa dicuri. Dibukalah sebuah peti satu kali satu meter yang ia letakan di bawah tanah yang tertutup sedikit tumpukan jerami, tempat penyimpanan rahasia. “Syukur, tidak dimakan tikus. Tikus desa memang tidak sepandai tikus Ibu kota yang pintar. Hihihi….” Katanya sambil membuka dua toples di dalam peti itu. Ada dua toples yang cukup besar, disitu terisi beras dan gula yang ia kumpulkan selama mengikuti wakafan di hari terakhir. Beras dan gula yang tadi ia dapatkan segera digabung dengan yang lain sesuai toples masing-masing. “Lumayan sudah sekitar sepuluh kg! Cihuii….”
Di antara malam yang kian memalamkan malam yang semakin gelap dan menggelapkan kehidupan dunia malam. Lelaki itu menulis di sebuah kertas usang. “Aku ingin menulis tentang sesuatu” begitu katanya. Dengan pensil bertinggi tiga centimeter miliknya, dia mulai menulis huruf demi huruf yang sungguh hanya bisa di baca sesama orang desa saja. Jangkrik kian sunyi, mungkin mereka juga sudah tenang karena habis wakafan di tempat salah satu jangkrik yang sedang berduka cita. Angin malam masih menari menghibur rembulan yang tersenyum dengan sinarnya. Menyinari gubuk reot miring ke kanan sepuluh derajat.
6
“Kupret, belum bangun kau rupanya!”
“Hei Kupret, masa kau kalah dengan ayam. Hahaha…!”
Begitulah teriakan para petani di sawah sekitar gubuk reot miring kekanan sepuluh derajat milik Kupret. Padahal fajar sudah menyingsing, daun pisang hijau kekuningan dikecup mentari. Burung juga sudah bercicit. Tetapi kenapa lelaki itu belum muncul, harusnya dia sudah di sawah sekitar, sekedar membantu membajak atau mencangkul. Kemanakah ia?
“Tarno, coba kau lihat gubuknya. Kenapa Kupret belum muncul, dia harusya mulai membantu kita mencangkul?” kata Ponirin yang mendongakan kepala kearah gubuk Kupret sembari berhenti mencangkul.
Ya” Tarno mengenakan kembali capingnya. Lantas kakinya diangkat dari lumpur sawah menuju gubuk.
Tarno mendekat ke gubuk reot miring ke kanan sepuluh derajat milik kupret dan memanggil namanya beberapa kali. Karena tidak ada tanggapan, Tarno langsung masuk setelah tahu pintu tidak dikunci. “Oalah…Kupret, jam segini masih tidur!” katanya sesaat setelah melihat Kupret dengan tanpa dosa berbaring di atas dipan dengan tertutup sarung putih andalannya. Beras dan gula sudah di bungkus kecil-kecil dan di taruh di sekelilingnya. Tarno mendekat berniat membangunkan Kupret, tapi kenapa juga di hidung Kupret ada kapas. Dilihatnya tulisan di sampingnya.
“Siapa yang membaca surat ini berarti mendapat amanah dariku. Semalam aku di jemput malaikat yang baik hati, dia membantuku membungkus gula dan beras. Kata malaikat, aku mau dibawa ke gubuk baru yang besar dan tegak seratus derajat ke atas. Makanya tadi malam aku mandi kemudian memotong sarung putih andalanku jadi dua. Hahaha…aku ini orang miskin, tapi kata malaikat Tuhan menyukaiku karena sifat amanahku. Makanya Tuhan ingin segera bertemu. Jadi tolong ya kafani aku. Lantas kuburkan aku di dekat makam istriku Aminah, ingat ini AMANAH. Oh iya, jangan lupa wakafan untuk aku. Cukup sehari saja, karena bungkusan beras dan gulaku hanya sedikit jadi bagikan secukupnya. Ingat, ini amanah. Demikianlah saja. Salamku buat orang desa.
Tarno menelan ludah.“ Ponirinnnnnnnnnnn!!!!!!!!!!!!!!!”
7
Semua urusan usai. Kuburan menerima jasad Kupret dengan riang gembira. Cacing stand by di meja makan. Malamnya para warga penuh sesak wakafan di gubuk reot miring kekanan sepuluh derajat milik Kupret. Jangkrik pun tak ketinggalan. Semuanya wakafan hingga selesai dan pulang membawa beras dan gula dalam bungkusan kecil yang Kupret kumpulkan selama bertahun-tahun mengikuti wakafan di hari terakhir. Ini amanah !

Jogja, 2010





[1] Mengirim doa bagi orang  meninggal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar