Selasa, 08 Februari 2011

CINTA ABAD 21



Senja baru saja berpamit. Hendak beristirahat di balik bukit. Adzan magrib mengantarnya merangkak di antara awan di kolong langit. Dan euphoria jingga berakhir. Burung kembali ke sarang di ranting pohon. Kelelawar bersiap meminum darah di cangkir gua. Altar menyiapkan kursi untuk rembulan.
Akhirnya beberapa detik setelahnya, malaikat menggelar karpet hitam. Membungkus sebuah desa dalam kelam. Desa yang dikenal dengan nama desa Biasa Saja dan ditempati orang-orang sederhana. Penuh kerukunan bertetangga dan bersahaja.
Kau duduk diberanda. Mengamati malam lantas mengaitkan dengan cinta. Mengurai kata dalam bahasa malam. Karena cinta terkadang bergelora saat petang tiba. Hingga kau mulai terbawa suasana kesunyian setelah senja.
 Desa Biasa Saja hening seketika. Begitulah suasana saat petang mulai tiba. Dari utara suara langkah terdengar, tubuh cungkring berjalan menuju kearahmu. Melilit tubuh dengan sarung. Bersiul-siul. Mendendangkan lagu cucak rawa. Dekat dan kian dekat. Dialah Cakramandala anak kepala desa Biasa Saja.
“ Mas, sampeyan mau kemana?” kau berdiri menyapanya.
“ Lha mau keliling-keliling desa. Menikmati suasana, hehehe. . . .” Cakramandala menjawab dengan aksen Jawa kentalnya.
“ aku arep melu mas?”
“ Youwes, ayo!”
Kau dan cakramandala mulai berjalan mengitari desa. Bersama-sama menyiulkan lagu cucak rawa. Membelah malam bersamanya. Tidak ada acara di langit malam. Maka para bintang tak berkelip dan berkumpul, mereka diam. Rembulan entah datang entah tidak walau kursi sudah disiapkan. Tetapi jika sekarang adalah awal bulan maka bisa jadi rembulan tiada akan datang karena mungkin sedang datang bulan. Dan kursi tetap kosong dalam kehampaan hingga petang kian kelam.
 Cakramandala, pemuda berusia dua puluh lima tahun. Sosok bersahaja dan dewasa. Hanya malang nasibnya, setelah lulus SMP kelas 3 tidak bisa melanjutkan SMA karena biaya. Cakramandala 10 bersaudara, dan dialah yang tertua. Walau bapaknya kepala desa, tetap saja tak cukup biaya. Ingat ini Desa Biasa Saja, oleh karenanya sebagai kepala desa gajinya tak seberapa dan apa adanya. Setidaknya cukup buat keluarga.
 Sebenarnya bisa saja Cakramandala meraih cita-cita, sayangnya bapaknya adalah orang yang jujur. Pahamilah maknanya. Biarlah Cakramandala membantu ayahnya menyekolahkan adiknya. Menopang adiknya agar lebih dari bapaknya. jika bapaknya kepala desa, maka penuh harap dalam doa cakramandala, salah satu adiknya kelak menjadi kepala negara. Yang jujur dan bersahaja sebagaimana bapaknya.
Piye kuliahmu? Lancar to?” Cakramandala memecahkan sunyi. siulan berhenti.
“ Alhamdulillah, Mas. Sudah semester dua.” Kau menyesuaikan langkah Cakramandala.
Lha jurusan apa to ngambilnya?”
“ Filsafat, Mas. Aku suka filsafat tapi aku yo seneng sastra, hehehe . . . .
Woalahh… calon pemikir dan sastrawan iki. Pokoke aku doakan biar Gandawangsa dari desa Biasa Saja akan jadi orang yang hebat nantinya. Jangan kaya aku, pengangguran terhormat. Dihormati karena anak kepala desa, hihihi . . . .Cakramandala menoleh padamu sambil cengengesan.
Kau tersenyum saja. Lantas kembali dalam sepi. Beberapa detik kemudian, sepi ditelan suara. Suara jangkrik bersahut-sahut meneriaki sunyi. Kau dan Cakramandala mulai melewati pematang sawah. Udara seperti biasa, dingin. Merayap di antara pori-pori kulit setelah sebelumnya menelusup rimbunan daun pohon beringin. Mencipta suasana bagi pemangsa. Ular mencari tikus sawah. Tikus sawah mencari cacing. Cacing mencari cacing lainnya karena sedang main petak umpet.
“ Mas, apa mas pernah merasakan cinta?”
Cakramandala berhenti tiba-tiba. Memandang kearahmu. Menggeleng-geleng sembari tersenyum. “ Lho kok tiba-tiba nanya cinta? Hehehe, mau nikah. Ya?"
“ Gak kok Mas, hanya mau membandingkan saja cinta jaman dahulu dengan sekarang. siapa tau bisa jadi kajian Filsafatku atau malah bisa kujadikan cerpen...hehehe”
            "Owh. Lha piye yo...Aku iki wong ndeso, aku taune  cinta membosankan bahkan terkadang kejam!” bahasa Cakramandala mulai bercampur. Itulah ciri khasnya sebagai anak kepala desa Biasa Saja yang hanya tamatan SMP kelas tiga. Cakramandala selalu berusaha memakai Bahasa Indonesia yang baik, hanya saja saat di rumah keluarganya selalu memakai Bahasa Jawa. Makanya Cakramandala terbiasa dengan dua bahasa. Jawa-Indonesia. Bahkan suatu kali ketika upacara, dia bertugas membaca pancasila. Sila satu sampai empat dibaca sempurna tapi ketika sila kelima langsung memakai bahasa jawa karena lupa 'Keadilan sosial Kanggo kabeh.... Itulah hebatnya Cakramandala. Bayangkan saja.  
            “Apa Sampean  gak salah mas, cinta kenikmatan. Kekuatan. Kelembutan. Kesyahduan.”
            “Tenane? bukankah cinta sandiwara dunia?”
            “Ya benar mas, coba rasakanlah! cukup dengan selembar kertas sajak, segenggam harap, setumpuk kasih, sepucuk mawar, atau segenap rasa sayang lantas dendangkan lagu cinta.”
            “Lha aku iki sudah merasakan. Aku melihat di berita, di koran, di majalah, di cerita orang yang aku tau cinta itu makin mengerikan. Makanya aku masih enggan bermain cinta. Kecuali mencintai Gusti Allah. Hihihi….” Cakramandala cengengesan.
            “Maksud sampean?”
            “Sebentar. Aku mikir dulu. Menyiapkan bahasa Indonesia yang baik biar ora kecampur-campur kaya rujak cingur. Hehehehe….” Cakramandala bertopang dagu. Seperti gunung menopang langit.
Kau membiarkannya berfikir di sela langkahmu dan langkahnya. Pematang sawah mulai kau tinggal. Kau mulai merasa hening kembali. Hening dalam keheningan malam. Dingin. Dingin dalam malam yang biasanya dingin. Malam gelap. Gelap dalam hitamnya malam. Kelam. Pekat. Tentunya semalam diantara malam-malam yang panjang belum tentu hitam mencekam.
 Ada kalanya satu malam, dua malam, tiga malam, atau empat malam di antara malam-malam yang telah lalu atau malam-malam yang akan datang bisa jadi sedikit terang. Yakni saat purnama membusungkan dada di singgasana langit sebelah timur sana. Dengan mahkota cahayanya yang membuai cakrawala, membuat pualam kota berlutut. Para bintang berkelip bernyanyi, mengiringi peri-peri yang menari.
            Tetapi malam ini, satu malam setelah malam kemarin terasa gelap. Entah kemana perginya rembulan. Datang bulan kah? Ditelan malam kah? Atau mungkin sedang menghadap Tuhan. Menanyakan mengapa dirinya bertugas di saat malam padahal malam adalah waktu bagi orang-orang jahat berbuat kejahatan dan waktu bagi kesenangan berfoya-foya. Sesekali bagi kebaikan kusyuk memuji Tuhan. Oh ya, kau bertanya lagi.
            “Sudahkah sampean selesai mas?” tanyamu saat setelah menyadari langkah telah kembali ke jalan Desa.
            Cakramandala menggeleng. “Belum” ujarnya sembari mulai melinting sembako  rokok dan menyalakan.
            “Ah bagaimana to mas sampean ini, berabad-abad para penyair atau sastrawan menggoreskan cinta. Entah berapa tinta mengalir, tertuang, melukis, mengukir tentang cinta. Gibran, Tagore, Shakespare, Chekov, Gie, Sapardi dan semuanya berbicara tentang keindahan dan keromantisan. Hanya sesekali kepedihan.” kau mulai memberondongnya dengan kata-kata.
            “Lha kui sopo to? Aku Cuma kenal kang Sapardi. Tulisannya suka nongol di koran. Cinta dibayanganku tidak seperti itu Gandawangsa, ini abad modern. Abad 21, cinta bukan lagi keindahan tapi keanehan. Kejam bahkan!” Cakramandala mengangkat wajah. Tegas menjawab. Berhenti melangkah. Sejenak.
            “Apa maksud sampean mas? aku pernah baca cerita cinta Adam Hawa, Romeo Juliet, juga Laila Majnun. Semuanya luar biasa indah. Hanya kepedihan sesekali jarang ada kekejaman dari kisah itu.”
            “Maaf Gandawangsa! Ingatlah kita beda zaman. Dulu mungkin cinta demikian adanya. Dari kesederhanaan dan ketulusan. Tapi ingat kini kerajaan cinta adalah uang!”
            “Jelaskan itu mas.” Dan kau memasang telinga. Bersiap mendengar pemaparan cinta. Kaki tetap melangkah biasa di jalan desa.
            “Begini. Ehm…ehm…seorang ibu itu kan kodratnya mencintai dan mengasihi bayinya yang adalah darah dagingnya. Tapi coba lihat, sekarang banyak ibu membunuh bayinya, menjual bayinya, memasukan bayinya di karton lantas menaruh di sembarang tempat. Di tempat sampah. Di pinggir jalan. Di depan pintu rumah orang. Apakah itu keindahan cinta ?”
Kau diam saja dalam langkah yang tetap biasa.
            “Seorang ayah kodratnya mencintai anak gadisnya, iya to?. Melindungi perawannya dari para lelaki biadab. Tetapi ketika ayah malah memperkosa anak gadisnya, memaksa melayani nafsu birahinya. Apakah itu bagian dari kelembutan cinta ?”
Kau menggeleng sekali dalam langkah yang mulai gelisah.
            “Seorang anak kodratnya mencintai ibunya. Patuh dan hormat terhadapnya sebagaimana ia tahu surga di telapak kakinya. Tetapi ketika anak itu dengan bodohnya memperkosa ibunya, membunuh dengan menikam perut ibunya, membakar ibunya, apakah itu bagian dari kesyahduan cinta ?”
Kau menggeleng dua kali. Menunduk. Kakimu mulai menyepak kerikil.
            “Seorang suami harusnya mencintai istrinya sebagaimana janji manisnya saat ijab Kabul. Tapi ketika suami itu melacurkan istrinya pada rekannya atau pria belang lainnya apakah itu bagian dari kekuatan cinta ?”
Kau menggeleng tiga kali. Bergetar hebat hatimu.
            “Dan seorang istri kan harusnya berbakti dan mencintai suaminya. Menerimanya apa adanya. Tetapi saat suaminya cacat karena kecelakaan. Di saat lelaki lain datang menabur perhatian. Lantas sang istri memilih pergi. Membunuh suaminya terlebih dahulu. Memotong kelelakian suaminya saat tidur dan berdalil suaminya selingkuh. Apakah itu bagian dari ketulusan cinta Gandawangsa. Heh !” Cakramandala menjelaskan tegas dengan satu nafas. Membahasakan dengan lugas tanpa campuran jawa. Dan menarik nafas dalam setelahnya.
Kau menggeleng-geleng. Diam dan Bungkam. Burung hantu di atas pohon menutup mata dengan sayap membayangkan kejantanannya. Hening kembali. Jarum jam tangan usangmu berputar ke kiri. Detiknya berbunyi. Menitnya berganti. Begitu dan begitu. Kau bertanya lagi.
            “Be...be...gitu to mas? Mengapa demikian?”
            “Ah mudah saja Gandawangsa! seorang ibu membunuh bayinya karena lenyap sudah kekuatan cinta. Tidak punya uang untuk mengurusi dan membeli susu bubuk. Menjual bayi karena butuh uang padahal itu bukan ciri seorang ibu. Seorang ayah memperkosa anak gadisnya karena stress ditinggal istri akibat tidak pernah diberi uang. Anak membunuh ibunya karena tidak dikasih uang untuk membeli motor. Suami melacurkan istrinya karena tidak tahu bagaimana lagi mendapat uang untuk menebus utang, bahkan ada suami yang menjual istrinya demi mendapat uang untuk kembali membeli perawan.  Istri memotong kelelakian suami agar segera mati, lantas pergi dengan lain lelaki yang bisa memberinya uang untuk membeli dan bergaya dengan HP Blackberry. Segalanya uang Gandawangsa! Uang membutakan cinta. Membunuh jiwa-jiwa sederhana. Uang dicintai, cinta dilukai. Apakah itu cinta. Jika kau tak percaya apa kataku, buka mata depan berita. Telaah kata di tiap media Koran. Pasang telinga di mulut radio maka kau mengerti cinta abad ini.” Cakramandala berapi-api berkhotbah dengan bahasa yang benar-benar lugas. Kemampuan bahasa dengan baik dikeluarkan sebagaimana presenter silet berkoar. Hanya kecepatannya stabil.
            Dan kau bingung. Padahal kau bertanya akan keindahannya. Dan kau menelan cerita pahit tentang cinta melebihi pahitnya air rebusan daun pepaya yang hijau mengental warnanya. Lebih pahit dari obat malaria. Padahal tadi kau bilang cinta kelembutan, kesyahduan yang seolah memberi gambaran akan sebuah kemanisan layaknya anggur hijau yang matang. Dan kau segera membayangkan bayi malang seperti anak tikus merah muda yang terbuang. Ayah yang bejat melebihi singa jahat. Anak durhaka layaknya air tuba. Suami biadab bagai Abu lahab. Dan istri kejam dengan pisau tajam yang membuat burung hantu menutup matanya dengan sayap, membayangkan kejantanannya. Padahal kau jarang melihat yang demikian. Tapi sekarang kau berhadapan dengan bayangan.
            “Piye ? iya to. Cinta iku saiki aneh. Kejam. Mulakno aku urong nggolek bojo. Atiku nggo gusti Allah wae sikek. Hihihi….” Cakramandala meringis cengengesan. Raut wajahnya kembali tenang seiring kepulan asap rokok lintingan. Ocehan campuran Indonesia-jawanya sangat khas anak kepala desa.
            “Ya, sampean benar mas. Zaman edan. Cinta abad 21” kau merunduk lantas menatap ke depan. Menyadari bahwa rumahmu tinggal bebeapa langkah.
            “Youwes, sudah sampai rumahmu lagi. aku yo mau pulang iki. Lapar.” Cakramandala menyalamimu. Melilitkan sarung di badan lagi. Melangkah pergi. Bersiul-siul sendiri. Bernada cucak rawa.
Dan sekarang kau sendiri. Di beranda, sejenak kau masih mematung berdiri. Cakramandala pergi. Malam kian petang. Petang yang adalah gelap. Gelap yang adalah hitam. Hitam yang adalah bagian dari malam. Malam yang membungkusmu di desa Biasa Saja dalam kebingungan. Tentang cinta abad 21 yang mencintai uang. Kau masih saja heran memikirkan burung hantu yang menutup mata dengan sayap membayangkan kejantanan. Kau mengucap salam. Masuk kedalam. Terlentang. Tidur. Terpejam. Malam.                                  




Jogja, 2010.
“Soa-soa hitam”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar