Selasa, 08 Februari 2011

Surat dari Ibu Kota


Namaku Putrabirawa. Suatu ketika aku pernah diajak kawanku yang bernama Langlangbuana untuk merantau ke Ibu kota. Dia mendengar cerita dari orang, bahwasannya di sana banyak hal baru dan hal indah yang akan menghibur mata. Aku adalah orang desa. Pengetahuanku akan Ibu Kota tidaklah seberapa, maka dengan keluguanku aku bertanya padanya.
            “Dimana kita akan tinggal? Bekerja apa?” pertanyaanku kumaksudkan sekedar meyakinkan diriku.
            “Tenang saja, tinggal bisa di mana saja. Ingat, itu ibu kota! Kita akan segera dapat tempat tinggal dan kerja stelah sampai disana” Langlangbuana mencoba meyakinkanku dengan mengepulkan asap dari rokok lintingan murahan. “Kita akan pergi ke ibu kota, kemudian kita kerja dan akan menjadi kaya!” katanya mantap. Senyumnya mengembang. Matanya tajam menerawang kedepan.
Aku masih muda saat itu. Gelora jiwaku membuncah ingin tahu seperti apa wajah ibu kota. Wajar jika aku yang terbiasa sederhana mulai tertarik dengan cerita Langlangbuana. Umurku baru 16 tahun, dan selama itu pula aku hidup di desa. Desa Nerima Apa Adanya. Begitulah nama desaku. Aku tak tau mengapa namanya sedemikian rupa. Yang aku tahu sejak lahir di gapura depan desa yang terbuat dari bambu yang sudah dimakan rayap tertulis demikian. Desa Nerima Apa Adanya. Kata ibuku desa Nerima Apa Adanya tak pernah meminta macam-macam, hidup dalam kederhanaan. Biasa-biasa saja karena masyarakatnya juga biasa saja. Hanya satu yang istimewa, Mushala di ujung desa. Disanalah kami mempelajari arti kehidupan dari seorang Kyai Tua. Namanya Ustadz Toha.
            “Aku akan coba meminta izin pada ibuku. Kita akan berangkat besok” kataku padanya.
Langlangbuana menepuk pundakku. “Ingat Birawa, Ibu kota indah!”
Ketika senja berpamit dan petang tiba kemudian menguasai langit. Aku mulai berbicara pada orang tua. Kukatakan pada mereka akan keindahan ibu kota sebagaimana kata Langlangbuana. Aku juga meyakinkan mereka kalau aku akan dapat pekerjaan di sana. Aku bahkan sengaja menceritakan tentang menara yang ujungnya disepuh emas, kalau tidak salah namanya monas. Orang tuaku tersenyum membayangkannya.
            “Siapa tau aku bisa membawa pulang monas ke desa kita mak. Hehehe. . . .” kataku menggoda. Padahal akupun tak tau seperti apa bentuk aslinya. Di sini belum ada listrik, jadi tidak ada TV. Mulut adalah berita. Mulut kemulut kemudian telinga ke telinga begitu tepatnya. Aku menghabiskan semalam penuh meyakinkan kedua orang tuaku. Sering kukatakan berulang-ulang bahwa aku akan giat bekerja. Akhirnya saat menjelang pagi, orang tua mengizinkan walau sedikit berat hati. Usai subuh tak ada pikiran istirahat. Aku langsung bersiap, lantas air mata orang tua melepas kepergianku di ujung Mushola.
***
Aku akhirnya tiba di Jakarta. Aku mulai merasakan suasana petang yang berbeda dari biasanya. Jika di desa  sehabis magrib suasana mulai sepi, maka di Ibu kota kian malam kian ramai. Seolah enggan mati. Oh ya, tadi sore aku benar-benar telah melihat monas. Menara yang bersepuh emas. Ingin rasanya memanjat dan mengambil beberapa serpihan untuk dimasukan ke dalam tas. Tapi aku tau, itulah hal mustahil bagai katak hendak menjadi lembu. Aku juga melihat gedung-gedung megah. Seolah ujungnya hendak mencium langit. Aku juga melihat gadis-gadis cantik nan jelita ke sini ke sana menggoda para orang kaya. Hal nyata yang terlihat adalah si miskin berteman dengan si miskin dan si kaya berteman dengan si kaya. Benar juga lagu Rhoma Irama.
***
Umurku kini 28 tahun. Sudah 12 tahun aku di Jakarta. Aku mulai menerima kenyataan pahit bahwa aku tak kunjung menjadi orang kaya dan tetap menjadi orang yang biasa. Aku memang mendapatkan kerja. Menjadi pemulung di Ibu Kota. Aku juga dapat tempat tinggal. Di kolong jembatan. Terkadang saat lagi tidak memulung, aku mengerjakan apa saja yang bisa ku kerjakan dan saat bosan tidur dikolong jembatan aku akan tinggal di mana saja yang bisa dipakai sebagai tempat tinggal. Lengkap benar kata Langlangbuana ‘Tenang saja, tinggal bisa dimana saja. Ingat, itu ibu kota! Kita akan segera dapat tempat tinggal dan kerja stelah sampai disana’. Aku mulai sadar akan satu hal. Saat teringat percakapan orang  desa dulu.
            “Ibu Kota adalah tempat yang indah?”
Begitu cakap mereka di Mushola setelah ashar. Padahal mereka tidak tahu, ternyata di sini jorok. Jauh dari indah. Keindahan hanya fatamorgana yang lenyap ditelan duka. Andai mereka tau di sini banyak tikus ajaib. Jika di desa tikusnya berkeliaran di sawah, maka disini tikusnya berkeliaran di gedung megah. Bahkan ada yang seolah ingin menggerogoti emas di ujung monas. Di desa tikusnya bau, di sini harum, berpakaian rapi. Di desa tikusnya kurus, di ibu kota tikusnya gendut.
            “Ibu Kota adalah tanah yang luas?”
Ya, itu dulu. Dulu sekali. Sekarang setelah tikus kian banyak, maka orang mulai datang. Datang karena jengkel dan mau menangkap tikus ajaib itu. Ada juga yang datang sekedar ingin tau seperti apa sih tikus ajaib itu. Bahkan ada yang diam-diam datang karena ingin menjelma menjadi tikus ajaib. Jelaslah tempat ini kian lama kian padat. Kian lama kami saling berhimpit. Berdesakan di kolong langit.
***
Sayangnya aku tak punya cukup uang untuk pulang. Jika aku bisa kembali lagi ke desa, aku akan menceritakan semua pada mereka. Membungkam mimpi akan keindahan Ibu Kota. Aku akan berkata di Ibu Kota para pemimpin tertawa di singgasana memakai mahkota layaknya para raja, sedang rakyat jelata hidup seperti binatang melata. Para raja bermuka domba saat melihat rakyat jelata dan segera memakai kembali jubah serigala saat kembali ke istana.
Aku juga mau bilang para raja menari di taman penuh melati bermekar. Sedang rakyatnya menghitung hari menunggu mati karena lapar. Kami bernafas hanya untuk mengiba. Melangkah hanya untuk meminta. Menangis hanya untuk sekedar tawa palsu dalam duka. Agar kalian bisa merasa bagaimana kami terbelenggu.
***
Oh ya, kalian ingat kawanku kan. Langlangbuana. Ya, sekarang dia melanglangbuana di Ibu Kota. Dulu ia pernah berkata “Kita akan pergi ke ibu kota, kemudian kita kerja dan akan menjadi kaya!”. Benar saja, dia sekarang kaya. Lebih kaya dari aku. Dia kaya Bajing. Melompat dari satu trek ke trek lain. Menjarah barang-barang yang bisa dijual. Dia kaya Monyet. Melompat dari satu atap rumah ke rumah lain, merampok apa saja yang berharga. Dia juga kaya Bunglon. Pintar menyamar dimanapun ia berada. Seperti pernah suatu kali dia bercerita dia sembahyang di masjid layaknya orang suci, datang lebih awal dan pulang paling akhir dengan membawa kotak amal. Dia kaya tikus juga. Menggerogoti apa saja. Terakhir kali kulihat dia mulai gendut dan ada tato buaya dilengannya. Aku tak sempat menanyakan maksudnya.
Pernah dia mengajakku menjadi kaya karena melihat keadaanku yang sedemikian melarat. Aku menolaknya. “Aku mencoba menikmati hidup yang biasa, dengan harapan Tuhan akan membalasnya suatu ketika”. Begitu kataku padanya.
Dia tersenyum saja. Menepuk pundakku lantas pergi kembali. Kehidupanku dan dia memang berbeda tapi kami tetap saling memperhatikan dan menghargai. Aku sering mengingatkannya, tetapi telinga kirinya lebih lebar dari telinga kanannya. Dia sering mengajakku menjadi kaya, tapi logikaku masih bisa menerima kehidupanku yang apa adanya.  Aku sejatinya orang desa, desa Nerima Apa Adanya membuyarkan keinginanku untuk menjadi kaya. Aku mulai merindukan suasana alam yang sederhana. Hanya uang untuk ongkos pulang menjadi kendala. Aku menuliskan ini, agar bisa kalian baca. Aku hanya ingin segera kembali ke desa, memulai semua dari kesederhanaan. Mensyukuri arti sebuah pemberian alam. Aku ingin kembali ke desa, agar aku bisa menjawab pertanyaan dari orang desa yang mungkin akan bertanya “Kenapa kau kembali ke desa?”. Aku sudah menyiapkan jawaban sejak lama. Aku akan berkata bahwa kehidupan yang sederhana dan biasa membuat kita menerima apa adanya daripada mengharap akan sebuah anggur merah di taman yang penuh fatamorgana.
***
Kini aku mulai menyadari bahwasanya kedewasaanku adalah karena kepenatan hidup mengajariku dengan caranya. Bahkan kehidupan mendidikku hingga aku bisa menulis sebuah cerita agar orang bisa membaca apa yang aku rasa. Aku merasa menjadi orang kaya, kaya akan Iman. Memilih kesederhanaan daripada mengikuti Langlangbuana menjadi orang kaya. Salam terakhir dariku di akhir surat Ibu Kota adalah jika kalian berfikir Ibu tiri begitu kejam, maka lebih kejam Ibu Kota.

                                                                                                                        Yogyakarta, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar